Minggu, 30 April 2017

4 Keunikan dari Gunung Bawakaraeng di Gowa, Sulawesi Selatan

Gunung Bawakaraeng
Gunung Bawakaraeng di Sulawesi Selatan

            Gunung Bawakaraeng adalah sebuah gunung yang terletak di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Gunung dengan ketinggian sekitar 2830 mdpl ini biasanya menjadi tujuan wisata, terutama bagi sobat yang gemar berpetualang di alam bebas. Gunung Bawakaraeng sendiri mempunyai arti Gunung Mulut Tuhan yang diambil dari bahasa Makassar dan diyakini oleh masyarakat setempat memiliki banyak kisah mistis. Berdasarkan pengalaman dari beberapa orang yang pernah mengunjungi Gunung Bawakaraeng, mereka banyak mengalami kejadian mistis seperti melihat arwah seorang wanita berbaju merah, penampakan manusia tanpa kepala sehingga penampakan perkampungan gaib. Bagi beberapa masyarakat di sana, Gunung Bawakaraeng juga diyakini sebagai tempat pertemuan para wali dan dianggap sebagai tempat yang sakral. Para penganut keyakinan ini biasanya akan melaksanakan ibadah Haji di puncak Gunung Bawakaraeng pada bulan Zulhijjah atau bulan bagi umat Muslim lainnya melaksanakan ibadah Haji di Tanah Suci Mekkah. Di bulan yang sama, mereka akan melaksanakan salat Idul Adha di puncak gunung tersebut.Tak bisa dipungkiri, Gunung Bawakaraeng sebenarnya memiliki banyak keunikan tersendiri dari sisi keindahan panorama alam maupun budaya yang disajikannya. Saya harap hal tersebut bisa menjadi pertimbangan sobat untuk mengunjungi tempat ini, terutama bagi yang gemar berpetualang di alam bebas. Berikut adalah 4 keunikan Gunung Bawakaraeng yang sempat saya rangkum pada artikel kali ini.

1. Danau Tanralili
Danau Tanralili
Danau Tanralili


Danau Tanralili terletak di ketinggian 1454 mdpl. Menurut masyarakat setempat, Danau Tanralili adalah sebuah danau yang terbentuk secara alami ketika terjadi longsor di Gunung Bawakareng pada tahun 2004 silam. Meskipun tergolong tempat wisata yang masih baru, danau ini memiliki banyak pengunjung tiap minggunya. Untuk sampai di danau ini, sobat harus menempuh rute selama 2-3 jam dari kota Makassar. Jalan yang dilewati adalah jalan poros Malino, Tinggi Moncong, Kabupaten Gowa yang berjarak kurang lebih 60 Km. Harap berhati-hati ketika melewati rute ini karena jalannya agak sedikit rusak dan terdapat banyak belokan yang agak tajam. Setelah melewati rute tersebut, sobat akan sampai di desa terakhir yang disebut desa Lengkese. Kendaraan sebaiknya sampai di sini saja dan bisa dititip di rumah warga setempat. Untuk biaya registrasi masuk sendiri hanyalah sejumlah Rp. 2000 sahaja.

Setelah itu, saatnya melalui rute dengan berjalan kaki. Rute yang dilewati memang agak ekstrim dan bikin napas naik turun tapi yakin saja bahwa sobat akan mendapat imbalan yang setimpal. Sepanjang jalan, sobat akan disuguhkan dengan struktur bebatuan yang sangat indah dan sobat juga masih bisa melihat sisa-sisa longsor yang pernah terjadi dahulu.

Danau Tanralili
Pemandangan Pohon Pinus di Danau Tanralili

Setelah melewati rute perjalanan kurang lebih 1-2 jam, sobat akan sampai di tempat tujuan yaitu, danau Tanralili. Beristirahatlah dengan menikmati keindahan alam yang disuguhkan danau ini dengan pemandangan hijau dan udara segarnya. Keindahan pohon pinus yang berjajar di ketinggian yang membuat mata terpuaskan seketika.

Danau Tanralili
Tenda Para Pengunjung di Danau Tanralili


Kemudian dapat terlihat juga deretan tenda warna warni milik pengunjung yang lain. Sekedar saran sob, jangan lupa untuk menikmati dinginnya air danau tersebut.

Note: Sampah dibawa pulang. Hehehe


2. Lembah Hijau Ramma
Lembah Ramma
Pemandangan Lembah Ramma dari Puncak Tallung

Lembah Ramma adalah lembah hijau yang terletak di pertengahan Gunung Bawakaraeng. Untuk mencapai lembah ini, bukanlah suatu pekerjaan yang mudah meskipun ia dijuluki sebuah lembah. Sobat harus melewati banyak tanjakan dan turunan yang ekstrim untuk bisa mencapai lembah ini. Rute yang dilewati juga cukup memakan waktu yang lama yaitu sekitar 2-4 jam dari desa terakhir.
Rute kita dimulai dari Makassar, dimana rute yang dilewati adalah rute yang sama saja ketika sobat ingin ke danau Tanralili. Hanya berbeda di desanya sahaja. Desa yang kita tuju adalah desa Lembanna yang terletak di kaki Gunung Bawakaraeng. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, butuh waktu 2-4 jam untuk mencapai Lembah Ramma dari desa ini. Sepanjang perjalanan, kita akan menghadapi medan yang agak ekstrim berupa jalan bebatuan dan melewati sekitar 4 anak sungai. Akan tetapi, pemandangan yang disuguhkan selama perjalanan sangatlah luar biasa. Sobat bisa melihat hijaunya tumbuhan vegetasi lumut yang memenuhi batuan dan pepohonan, tumbuhan paku dan pepohonan khas hutan tropis Gunung Bawakaraeng selama perjalanan. Jika sobat kelelahan saat perjalanan, singgahlah sejenak di salah satu anak sungai untuk beristirahat melepas dahaga dengan dinginnya air anak sungai tersebut.

Lembah Ramma
Tenda Para Pengunjung di Lembah Ramma

Sebelum mencapai Lembah Ramma, sobat pasti akan melewati puncak Tallung. Di ketinggian ini, sobat bisa melihat Lembah Ramma yang hijau menghampar luas dari kejauhan. Selain itu, sobat juga bisa melihat air terjun dan danau-danau termasuk danau Tanralili dari ketinggian ini. Dari puncak Tallung, sobat selanjutnya akan melewati penurunan yang agak curam hingga mencapai Lembah Ramma. Setelah tiba, enjoy and feel the sensation of Lembah Hijau Ramma.

3. Puncak Gunung Bawakaraeng
Puncak Gunung Bawakaraeng 
Lautan Awan di Puncak Bawakaraeng

Gunung Bawakaraeng mempunyai ketinggiaan 2830 mdpl. Ketika sobat berhasil mencapai puncaknya, sobat akan terpesona akan pemandangan hamparan bumi menghijau yang luas dan lautan biru dari ketinggian ini. Puncak Bawakaraeng sendiri merupakan puncak yang terbuka dan luas. Dari sini, sobat bisa melihat puncak Gunung Lampobattang yang masih dalam pegunungan yang sama dengan Gunung Bawakaraeng.

Sumur di Puncak Bawakaraeng
Tepat di bawah puncak, terdapat hamparan luas lagi berupa lapangan hijau yang dipenuhi rerumputan. Biasanya, lapangan ini dijadikan tempat upacara untuk penyambutan 17 Agustus bagi yang ingin merayakan hari kemerdekaan di Gunung Bawakaraeng. Uniknya, juga terdapat sebuah lubang yang menyerupai sumur dan berisi air yang bersih dan jernih di lapangan yang berjarak tidak jauh dari puncak ini. Makanya, lokasi ini cocok untuk dijadikan tempat beristirahat atau membangun camp karena adanya sumber air. Bila sobat beruntung, lautan awan putih juga akan terlihat dari puncak ini jika cuaca sedang bersahabat.

4. Ritual Haji di Gunung Bawakaraeng
Ritual Haji Bawakaraeng
Ritual Haji Bawakaraeng

Ritual Haji Bawakaraeng
Ritual Haji Bawakaraeng












Sabtu, 29 April 2017

Destinasi Wisata di Flores, Surga di atas Awan Wae Rebo



            Desa Wae Rebo adalah salah satu lokasi wisata yang wajib anda kunjungi jika anda kebetulan berada di tanah Flores. Desa ini telah dikenal di mancanegara dan memiliki ciri khas serta keunikan tersendiri yang membedakannya dari objek wisata lainnya, khususnya di Indonesia.
Pegunungan di Waerebo
Pegunungan yang mengelilingi desa Wae Rebo

Desa ini sendiri terletak di tengah pegunungan Flores dengan ketinggian 1.200 mdpl dan menjadi satu-satunya desa yang berada di tempat tersebut. Tepatnya, desa ini terletak di Kecamatan Satar Mese Barat Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Desa ini kemudian dikelilingi oleh gunung-gunung yang membuatnya terisolasi dari dunia luar. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja, masyarakat harus menempuh jalur sepanjang 9 kilometer menuruni pegunungan dan melewati hutan belantara untuk sampai di desa Denge yang merupakan desa terdekat dari Wae Rebo. Desa ini sendiri berada di kaki gunung dan membutuhkan waktu 4-5 jam untuk mencapainya dengan berjalan kaki. Jalur untuk sampai di kaki gunung seyogyanya bukanlah jalur yang mudah. Tidak jarang kita jumpai jalur yang sempit dan bersambungan langsung dengan jurang yang curam. Akan tetapi, pemandangan yang disuguhkan sepanjang melewati jalur perjalanan ini sangatlah indah.

Mbaru Niang
Mbaru Niang atau rumah adat masyarakat Wae Rebo yang berbentuk kerucut.

            Keunikan selanjutnya yang ditawarkan oleh desa ini adalah struktur rumah adatnya yang berbentuk kerucut dan disebut Mbaru Niang. Jumlah rumah kerucut ini ada 7 buah. Terakhir saat penulis mengunjungi desa ini, terdapat dua buah lagi rumah kerucut yang dibangun yang bertujuan untuk dijadikan rumah penginapan bagi pengunjung yang datang. Meskipun begitu, arsitektur dari rumah ini berbeda dari rumah adat walaupun sama-sama memiliki atap berbentuk kerucut. Hal tersebut dikarenakan bentuk rumah apapun yang ingin dibangun di area tersebut, ia tidak boleh mempunyai bentuk yang sama dengan Mbaru Niang. Masyarakat setempat mempercayai bahwa mereka tidak bisa lagi membangun Mbaru Niang di mana jumlahnya tidak boleh lebih dari 7 buah untuk selamanya. Masyarakat pun hanya bisa membangun rumah lain di sekitar area Mbaru Niang dan tidak diperbolehkan membangun di dalam area lingkaran seperti pada gambar di atas.
Upacara Penti
Persembahan kepada leluhur
 masyarakat Wae Rebo di altar persembahan.





Persembahan berupa hewan ternak
Persembahan seekor ayam untuk para leluhur masyarakat Wae Rebo.

Selain itu, pertengahan November biasanya adalah waktu yang ditunggu-tunggu oleh turis lokal maupun mancanegara karena pada bulan tersebut, masyarakat di Wae Rebo akan melakukan upacara adat yang disebut Upacara Penti. Upacara ini dilaksanakan sebagai bentuk ungkapan rasa syukur masyarakat atas kehidupan selama satu tahun dan keberhasilan panen mereka. Pengunjung yang datang ke desa ini akan ditempatkan di rumah Gendang sebagai rumah utama dari Mbaru Niang. Ketika upacara dimulai, gendang pun akan mulai dibunyikan dengan diiringi alunan musik tradisional khas masyarakat Wae Rebo dan nyanyian budaya mereka. Dengan alunan musik tersebut, mereka kononnya mengundang roh leluhur penjaga pintu air. Dalam upacara ini juga, masyarakat mengorbankan hewan seperti sapi, ayam dan babi sebagai persembahan terhadap leluhur mereka.
Tarian perang atau tarian caci
Penari tarian Caci yang berusaha memukul lawannya.
Tarian Caci
Seorang penari yang mencambuk lawannya.

Setelah upacara Penti selesai, selanjutnya masyarakat di sana akan mempertunjukkn tarian Caci. Tarian ini adalah jenis tarian perang masyarakat Manggarai. Para penari akan membawa cambuk dan tameng dan kemudian akan saling mencambuk secara bergantian. Meskipun tidak jarang dalam tarian ini penari akan berdarah bahkan terluka parah, akan tetapi penari tetap tertawa dan bergembira ketika mengikuti prosesi tersebut. Mereka mengatakan bahwa tarian tersebut mengandung makna bahwa kita tidak boleh menyimpan dendam dan amarah walaupun telah disakiti. Kemudian, puncak acara Penti akan dilangsungkan pada malam hari. Seluruh masyarakat Wae Rebo akan berkumpul di rumah Gendang dan melakukan ritual Tundak Penti yaitu ritual penyembelihan babi jantan dan betina. Akhir dari upacara ini dinamakan Sanda, yakni nyanyian budaya yang dilantunkan masyarakat tanpa henti dan tanpa musik.

            Estimasi dana transportasi yang harus disiapkan untuk menuju desa Wae Rebo adalah sebagai berikut:

·         Oto Travel dari Labuan Bajo-Ruteng = Rp. 60.000-70.000/orang
·         Oto Kayu dari Ruteng-Dintor/Denge = Rp. 30.000/orang
·         Ojek menuju pos 1 Wae Lomba = Rp. 10.000
·         Berkunjung ke Wae Rebo (menginap) = Rp. 350.000/orang/malam
·         Berkunjung ke Wae Rebo (tidak menginap) = Rp. 200.000/orang
·         Mengikuti acara Penti = Rp. 450.000/orang/malam

Sesampainya di desa Wae Rebo, kita wajib membunyikan pentungan di pos terakhir sebagai pemberitahuan kepada masyarakat di sana akan kedatangan kita. Pentungan tersebut terdapat di sebuah pondokan dan nama pos terakhir tersebut bernama pos Kasih Ibu. Setelah itu, kita pun bisa memasuki gerbang desa yang terbuat dari bambu dan hal pertama yang harus diingat, kita harus menuju ke rumah Gendang terlebih dahulu dan bertemu dengan kepala adat yang ada di sana untuk diritualkan. Setelah prosesi selesai, kita pun bebas beraktivitas di desa Wae Rebo. Demikianlah informasi seputar desa Wae Rebo dan semoga bisa bermanfaat....