Sabtu, 29 April 2017

Destinasi Wisata di Flores, Surga di atas Awan Wae Rebo



            Desa Wae Rebo adalah salah satu lokasi wisata yang wajib anda kunjungi jika anda kebetulan berada di tanah Flores. Desa ini telah dikenal di mancanegara dan memiliki ciri khas serta keunikan tersendiri yang membedakannya dari objek wisata lainnya, khususnya di Indonesia.
Pegunungan di Waerebo
Pegunungan yang mengelilingi desa Wae Rebo

Desa ini sendiri terletak di tengah pegunungan Flores dengan ketinggian 1.200 mdpl dan menjadi satu-satunya desa yang berada di tempat tersebut. Tepatnya, desa ini terletak di Kecamatan Satar Mese Barat Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Desa ini kemudian dikelilingi oleh gunung-gunung yang membuatnya terisolasi dari dunia luar. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja, masyarakat harus menempuh jalur sepanjang 9 kilometer menuruni pegunungan dan melewati hutan belantara untuk sampai di desa Denge yang merupakan desa terdekat dari Wae Rebo. Desa ini sendiri berada di kaki gunung dan membutuhkan waktu 4-5 jam untuk mencapainya dengan berjalan kaki. Jalur untuk sampai di kaki gunung seyogyanya bukanlah jalur yang mudah. Tidak jarang kita jumpai jalur yang sempit dan bersambungan langsung dengan jurang yang curam. Akan tetapi, pemandangan yang disuguhkan sepanjang melewati jalur perjalanan ini sangatlah indah.

Mbaru Niang
Mbaru Niang atau rumah adat masyarakat Wae Rebo yang berbentuk kerucut.

            Keunikan selanjutnya yang ditawarkan oleh desa ini adalah struktur rumah adatnya yang berbentuk kerucut dan disebut Mbaru Niang. Jumlah rumah kerucut ini ada 7 buah. Terakhir saat penulis mengunjungi desa ini, terdapat dua buah lagi rumah kerucut yang dibangun yang bertujuan untuk dijadikan rumah penginapan bagi pengunjung yang datang. Meskipun begitu, arsitektur dari rumah ini berbeda dari rumah adat walaupun sama-sama memiliki atap berbentuk kerucut. Hal tersebut dikarenakan bentuk rumah apapun yang ingin dibangun di area tersebut, ia tidak boleh mempunyai bentuk yang sama dengan Mbaru Niang. Masyarakat setempat mempercayai bahwa mereka tidak bisa lagi membangun Mbaru Niang di mana jumlahnya tidak boleh lebih dari 7 buah untuk selamanya. Masyarakat pun hanya bisa membangun rumah lain di sekitar area Mbaru Niang dan tidak diperbolehkan membangun di dalam area lingkaran seperti pada gambar di atas.
Upacara Penti
Persembahan kepada leluhur
 masyarakat Wae Rebo di altar persembahan.





Persembahan berupa hewan ternak
Persembahan seekor ayam untuk para leluhur masyarakat Wae Rebo.

Selain itu, pertengahan November biasanya adalah waktu yang ditunggu-tunggu oleh turis lokal maupun mancanegara karena pada bulan tersebut, masyarakat di Wae Rebo akan melakukan upacara adat yang disebut Upacara Penti. Upacara ini dilaksanakan sebagai bentuk ungkapan rasa syukur masyarakat atas kehidupan selama satu tahun dan keberhasilan panen mereka. Pengunjung yang datang ke desa ini akan ditempatkan di rumah Gendang sebagai rumah utama dari Mbaru Niang. Ketika upacara dimulai, gendang pun akan mulai dibunyikan dengan diiringi alunan musik tradisional khas masyarakat Wae Rebo dan nyanyian budaya mereka. Dengan alunan musik tersebut, mereka kononnya mengundang roh leluhur penjaga pintu air. Dalam upacara ini juga, masyarakat mengorbankan hewan seperti sapi, ayam dan babi sebagai persembahan terhadap leluhur mereka.
Tarian perang atau tarian caci
Penari tarian Caci yang berusaha memukul lawannya.
Tarian Caci
Seorang penari yang mencambuk lawannya.

Setelah upacara Penti selesai, selanjutnya masyarakat di sana akan mempertunjukkn tarian Caci. Tarian ini adalah jenis tarian perang masyarakat Manggarai. Para penari akan membawa cambuk dan tameng dan kemudian akan saling mencambuk secara bergantian. Meskipun tidak jarang dalam tarian ini penari akan berdarah bahkan terluka parah, akan tetapi penari tetap tertawa dan bergembira ketika mengikuti prosesi tersebut. Mereka mengatakan bahwa tarian tersebut mengandung makna bahwa kita tidak boleh menyimpan dendam dan amarah walaupun telah disakiti. Kemudian, puncak acara Penti akan dilangsungkan pada malam hari. Seluruh masyarakat Wae Rebo akan berkumpul di rumah Gendang dan melakukan ritual Tundak Penti yaitu ritual penyembelihan babi jantan dan betina. Akhir dari upacara ini dinamakan Sanda, yakni nyanyian budaya yang dilantunkan masyarakat tanpa henti dan tanpa musik.

            Estimasi dana transportasi yang harus disiapkan untuk menuju desa Wae Rebo adalah sebagai berikut:

·         Oto Travel dari Labuan Bajo-Ruteng = Rp. 60.000-70.000/orang
·         Oto Kayu dari Ruteng-Dintor/Denge = Rp. 30.000/orang
·         Ojek menuju pos 1 Wae Lomba = Rp. 10.000
·         Berkunjung ke Wae Rebo (menginap) = Rp. 350.000/orang/malam
·         Berkunjung ke Wae Rebo (tidak menginap) = Rp. 200.000/orang
·         Mengikuti acara Penti = Rp. 450.000/orang/malam

Sesampainya di desa Wae Rebo, kita wajib membunyikan pentungan di pos terakhir sebagai pemberitahuan kepada masyarakat di sana akan kedatangan kita. Pentungan tersebut terdapat di sebuah pondokan dan nama pos terakhir tersebut bernama pos Kasih Ibu. Setelah itu, kita pun bisa memasuki gerbang desa yang terbuat dari bambu dan hal pertama yang harus diingat, kita harus menuju ke rumah Gendang terlebih dahulu dan bertemu dengan kepala adat yang ada di sana untuk diritualkan. Setelah prosesi selesai, kita pun bebas beraktivitas di desa Wae Rebo. Demikianlah informasi seputar desa Wae Rebo dan semoga bisa bermanfaat....

                       


Tidak ada komentar:

Posting Komentar