Desa Wae Rebo adalah salah satu lokasi
wisata yang wajib anda kunjungi jika anda kebetulan berada di tanah Flores. Desa
ini telah dikenal di mancanegara dan memiliki ciri khas serta keunikan
tersendiri yang membedakannya dari objek wisata lainnya, khususnya di
Indonesia.
![]() |
Pegunungan yang mengelilingi desa Wae Rebo |
Desa
ini sendiri terletak di tengah pegunungan Flores dengan ketinggian 1.200 mdpl dan
menjadi satu-satunya desa yang berada di tempat tersebut. Tepatnya, desa ini
terletak di Kecamatan Satar Mese Barat Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Desa ini kemudian dikelilingi oleh gunung-gunung yang membuatnya terisolasi
dari dunia luar. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja, masyarakat harus
menempuh jalur sepanjang 9 kilometer menuruni pegunungan dan melewati hutan belantara
untuk sampai di desa Denge yang merupakan desa terdekat dari Wae Rebo. Desa ini
sendiri berada di kaki gunung dan membutuhkan waktu 4-5 jam untuk mencapainya
dengan berjalan kaki. Jalur untuk sampai di kaki gunung seyogyanya bukanlah
jalur yang mudah. Tidak jarang kita jumpai jalur yang sempit dan bersambungan
langsung dengan jurang yang curam. Akan tetapi, pemandangan yang disuguhkan
sepanjang melewati jalur perjalanan ini sangatlah indah.
![]() |
Mbaru Niang atau rumah adat masyarakat Wae Rebo yang berbentuk kerucut. |
Keunikan selanjutnya yang ditawarkan
oleh desa ini adalah struktur rumah adatnya yang berbentuk kerucut dan disebut Mbaru Niang. Jumlah rumah kerucut ini
ada 7 buah. Terakhir saat penulis mengunjungi desa ini, terdapat dua buah lagi
rumah kerucut yang dibangun yang bertujuan untuk dijadikan rumah penginapan
bagi pengunjung yang datang. Meskipun begitu, arsitektur dari rumah ini berbeda
dari rumah adat walaupun sama-sama memiliki atap berbentuk kerucut. Hal
tersebut dikarenakan bentuk rumah apapun yang ingin dibangun di area tersebut,
ia tidak boleh mempunyai bentuk yang sama dengan Mbaru Niang. Masyarakat setempat mempercayai bahwa mereka tidak
bisa lagi membangun Mbaru Niang di
mana jumlahnya tidak boleh lebih dari 7 buah untuk selamanya. Masyarakat pun
hanya bisa membangun rumah lain di sekitar area Mbaru Niang dan tidak diperbolehkan membangun di dalam area
lingkaran seperti pada gambar di atas.
![]() |
Persembahan kepada leluhur masyarakat Wae Rebo di altar persembahan. |
![]() |
Persembahan seekor ayam untuk para leluhur masyarakat Wae Rebo. |
Selain itu, pertengahan November
biasanya adalah waktu yang ditunggu-tunggu oleh turis lokal maupun mancanegara
karena pada bulan tersebut, masyarakat di Wae Rebo akan melakukan upacara adat
yang disebut Upacara Penti. Upacara
ini dilaksanakan sebagai bentuk ungkapan rasa syukur masyarakat atas kehidupan
selama satu tahun dan keberhasilan panen mereka. Pengunjung yang datang ke desa
ini akan ditempatkan di rumah Gendang
sebagai rumah utama dari Mbaru Niang. Ketika
upacara dimulai, gendang pun akan mulai dibunyikan dengan diiringi alunan musik
tradisional khas masyarakat Wae Rebo dan nyanyian budaya mereka. Dengan alunan
musik tersebut, mereka kononnya mengundang roh leluhur penjaga pintu air. Dalam
upacara ini juga, masyarakat mengorbankan hewan seperti sapi, ayam dan babi
sebagai persembahan terhadap leluhur mereka.
![]() |
Penari tarian Caci yang berusaha memukul lawannya. |
Setelah upacara Penti selesai, selanjutnya masyarakat di sana akan mempertunjukkn tarian Caci. Tarian ini adalah jenis tarian perang masyarakat Manggarai. Para penari akan membawa cambuk dan tameng dan kemudian akan saling mencambuk secara bergantian. Meskipun tidak jarang dalam tarian ini penari akan berdarah bahkan terluka parah, akan tetapi penari tetap tertawa dan bergembira ketika mengikuti prosesi tersebut. Mereka mengatakan bahwa tarian tersebut mengandung makna bahwa kita tidak boleh menyimpan dendam dan amarah walaupun telah disakiti. Kemudian, puncak acara Penti akan dilangsungkan pada malam hari. Seluruh masyarakat Wae Rebo akan berkumpul di rumah Gendang dan melakukan ritual Tundak Penti yaitu ritual penyembelihan babi jantan dan betina. Akhir dari upacara ini dinamakan Sanda, yakni nyanyian budaya yang dilantunkan masyarakat tanpa henti dan tanpa musik.
Estimasi dana transportasi yang
harus disiapkan untuk menuju desa Wae Rebo adalah sebagai berikut:
·
Oto Travel dari Labuan Bajo-Ruteng = Rp.
60.000-70.000/orang
·
Oto Kayu dari Ruteng-Dintor/Denge = Rp.
30.000/orang
·
Ojek menuju pos 1 Wae Lomba = Rp. 10.000
·
Berkunjung ke Wae Rebo (menginap) = Rp.
350.000/orang/malam
·
Berkunjung ke Wae Rebo (tidak menginap) = Rp.
200.000/orang
·
Mengikuti acara Penti = Rp.
450.000/orang/malam
Sesampainya di desa Wae Rebo, kita wajib membunyikan pentungan di pos
terakhir sebagai pemberitahuan kepada masyarakat di sana akan kedatangan kita. Pentungan
tersebut terdapat di sebuah pondokan dan nama pos terakhir tersebut bernama pos
Kasih Ibu. Setelah itu, kita pun bisa memasuki gerbang desa yang terbuat dari
bambu dan hal pertama yang harus diingat, kita harus menuju ke rumah Gendang terlebih dahulu dan
bertemu dengan kepala adat yang ada di sana untuk diritualkan. Setelah prosesi
selesai, kita pun bebas beraktivitas di desa Wae Rebo. Demikianlah informasi
seputar desa Wae Rebo dan semoga bisa bermanfaat....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar